Monday, 21 November 2011
Bathing In Bleach
Labels:
Artwork,
Collaboration,
collage,
natasha gabriella tontey
Dongeng Untuk Si Mata Susu #MATAPEREMPUAN2011
Menatap keangkuhan kehidupan kota besar, tempat kesenjangan sosial muncul secara meluas. Masyarakat menengah ke atas dianggap memiliki kehidupan flamboyan, dan terbentuk sebagai citra peradaban modern yang menjadi impian bagi masyarakat kelas lainnya. Kesibukan muncul dalam kehidupan masyarakatnya, kompetisi yang tak mengenal ampun bagi yang lemah. Tuntutan hidup yang menjadi budak dari nafsu hedonisme yang mendorong segelintir masyarakat kota besar menjadi makhluk sosial namun individualis dalam waktu yang bersamaan.
Semakin modern pola hidup suatu masyarakat, cenderung semakin berkurang pula kontak secara fisik dan kehangatan sesama manusia. Gaya hidup super sibuk yang penuh tekanan seakan-akan menyihir warga kota-kota besar. Tak heran, Jakarta pun menjadi sarang bagi manusia-manusia yang kesepian. Jika saja masyarakat perkotaan memiliki pola hidup yang lebih sederhana, mungkin kasus-kasus kesepian akan jarang terjadi. Masing-masing individu mempunyai waktu untuk memperhatikan kebutuhan satu sama lainnya yang dapat memperkuat tali emosional diantara mereka.
Dalam kenyataan, hidup di kota besar seperti Jakarta, inversi dan substitusi pola kehidupan akan terus menerus terjadi sebagaimana waktu sebagai citra hakiki masyarakat kota. Sama halnya seperti perubahan gaya hidup berkeluarga sebagai manifestasi dari perkembangan zaman.
*
Gaya hidup di kota besar masa kini adalah di mana orangtua bekerja dan menitipkan anak-anak mereka di bawah asuhan orang lain. Semua orang, baik sang Ayah maupun sang Ibu, sibuk dengan pekerjaannya masing-masing sebagai perwujudan dari harapan untuk kehidupan yang dianggap lebih baik.
Kesibukan orang tua dengan kariernya secara tidak langsung membangun tembok tak kasat-mata antara mereka dengan anak-anaknya. Kontak fisik pun berkurang karena anak-anak tidak lagi diasuh fisik secara langsung oleh orang tuanya. Sudah ada sosok lain yang menggantikan peran dalam mengurus. Pemberian mainan-mainan menjadi imbal balik orangtua atas ketidakhadiran mereka dalam proses tumbuh-kembang anak.
Fungsi gadget mutakhir digunakan untuk menjalin komunikasi, guna mendekatkan yang jauh, namun kenyataannya lebih sering menjauhkan yang dekat. Ketika pulang ke rumah, kesibukan orangtua yang tak terkekang oleh waktu, membuat mereka kerap kali terus berinteraksi dengan gadget-nya ketimbang dengan anak-anak mereka.
**
“Who are you? ” said the Caterpillar. This was not an encouraging opening for a conversation. Alice replied, rather shyly, “I—I hardly know, sir, just at present—at least I know who I was when I got up this morning, but I think I must have been changed several times since then.”
“What do you mean by that?” said the Caterpillar sternly. “Explain yourself!”
“I can’t explain myself, I’m afraid, sir,” said Alice, “because I’m not myself, you see.”
“I don’t see,” said the Caterpillar.
“I’m afraid I can’t put it more clearly,” Alice replied very politely, “for I can’t understand it myself to begin with; and being so many different sizes in a day is very confusing.”
“It isn’t,” said the Caterpillar.
“Well, perhaps you haven’t found it so yet,” said Alice; “but when you have to turn into a chrysalis—you will some day, you know—and then after that into a butterfly, I should think you’ll feel it a little queer, won’t you?”
“Not a bit,” said the Caterpillar.
“Well, perhaps your feelings may be different,” said Alice; “all I know is, it would feel very queer to me.”
“You!” said the Caterpillar contemptuously. “Who are you?”
Petikan di atas diambil dari novel Alice’s Adventures in Wonderland karangan Lewis Carroll. Alice dilemparkan ke dalam imajinasi dan dipaksa untuk menciptakan suatu identitas baru dalam rangka mengatasi situasi barunya. Alice yang kehilangan sosok panutan dalam petualangannya, hanya bisa bertempur dengan dirinya sendiri untuk mencari identitas. Seperti halnya Alice, anak-anak yang tidak mendapat panutan dari orang-orang tuanya, dalam hal ini adalah orangtuanya sendiri, dalam mencari kasih sayang akan berperang dalam dirinya. Teman khayalan adalah salah satu interpretasi dari pencarian kasih sayang.
Kebutuhan paling mendasar dalam hidup manusia selain fisiologis dan keamanan adalah kasih sayang.[1] Ketika dihadapkan dengan situasi jarang bertemu dengan orang tua, maka muncul kecenderungan anak untuk memiliki kepercayaan diri yang rendah. Karenanya, sentuhan menjadi penting dalam hubungan dengan yang tercinta.[2] Sama halnya seperti dongeng sebelum tidur yang menghangatkan jiwa apabila dibandingkan dengan tumpukan mainan yang dingin.
***
“I paint what cannot be photographed, that which comes from dreams, or from unconscious drive. I photograph the things that I do not wish to paint, the things which already have an existence” (Man Ray, Fotografer, 1981).
Fotografi di sini tidak sekadar berfungsi sebagai jendela realitas, Melainkan, sebagai wahana yang menjadi opini visual pribadi terhadap suatu keadaan. Dalam hal ini keadaan itu adalah realitas kota. Seperti halnya yang dilakukan oleh Frida Kahlo, seorang pelukis wanita dari Meksiko, dalam lukisan-lukisannya. Ia mengalihkan catatan-catatan hariannya menjadi lukisan-lukisan yang penuh dengan simbol-simbol. Sebagaimana dengan Frida Kahlo, foto-foto yang ada disini juga menggunakan pendekatan subjektif. Lebih jelas lagi, medium fotografi dalam karya ini digunakan sebagai cermin pribadi. Seperti mendengarkan lagu karangan Joanna Newsom[3], foto-foto disini tersusun seperti lirik-liriknya yang mengalun seperti dongeng tetapi memiliki dendam dan amarah.
Ibarat anak ayam yang tak bisa kehilangan induknya, anak-anak divisualisasikan sebagai sosok lemah yang terombang-ambing tanpa bimbingan nyata dari orang tua. Plastik di sini digunakan sebagai metafora urban yang diwakilkan oleh sosok boneka-boneka Barbie, sebagai citra dari kesempurnaan hidup yang dihadirkan karena mewakili perkara kehidupan di kota besar. Kesempurnaan yang teralienasi oleh kehampaan, tanpa kasih sayang dan afeksi.
Suatu kehampaan yang terselubung, terlihat dari foto pertama yang berjudul ‘Sprout and the Bean’ seolah tampak sebagai kehidupan lazim. Foto pertama tidak menyadarkan kita untuk mendengar jeritan-jeritan yang tak terdengar, sebelum lebih lanjut mendekatkan mata kita untuk melihat foto-foto yang tercetak di dalam View-Master[4]. Diperlukan kedekatan untuk menerobos hal-hal yang sublim.
Merangkai apa yang telah diseksamai, atas fenomena yang tidak lagi menjadi anomali di kehidupan kota besar, karya ini hadir untuk menyimak lebih dalam kehidupan anak-anak dan kaitannya dengan pola pengasuhan anak di kota besar. Ia bukan sekadar gambar tercetak, tetapi berusaha memperlihatkan suatu ironi. Keindahan visual tidak selalu berkaitan dengan kebahagiaan.
1 Abraham H. Maslow, Toward a Psychology of Being, second edition (New York: D. Van Nostrad, 1968), hlm. 25.
2 Oscar Motuloh, Yang Tercinta (Jakarta: Yayasan dan Pengembangan Budaya Visual Oktagon, 2005), hlm. 96.
3 Joanna Newsom ( 18 Januari 1982) seorang penyanyi dan pemain harpa asal Amerika Serikat.
4 View-Master yang seringkali dianggap mainan anak-anak, itu awalnya dipasarkan sebagai atraksi pada turis-turis.
other review:
http://satulingkar.com/detail/read/8/171/dongeng-boneka-untuk-jakarta
Labels:
Exhibition,
Jakarta Biennale 2011,
Mata Perempuan,
photography,
Works,
Writings
Location:
Galeri Foto Jurnalistik Antara
Thursday, 10 November 2011
MATA PEREMPUAN 2011
Pameran Fotografi Hasil Bengkel Kerja Penulisan dan Kuratorial Foto
"Mata Perempuan"
Dian Rosita
Irma Chantily
Maria Lasakajaya Sari
Mira Amira
Natasha Gabriella Tontey
Novianti Sisilia
Pembukaan :
Selasa, 15 November 2011 | 19.30 WIB
Galeri Foto Jurnalistik Gfja Antara
Jl. Antara No. 59, Jakarta Pusat
dibuka oleh : Firman Ichsan (Ketua Dewan Kesenian Jakarta)
FREE OF CHARGE
Subscribe to:
Posts (Atom)