Thursday, 22 December 2011
Museum Visit: Mint Museum of Toys
Location:
Mint Museum of Toys
Monday, 19 December 2011
Happy Birthday Humpty Dumpty!
Thursday, 15 December 2011
Cereal Nation's Second Collection
Monday, 21 November 2011
Bathing In Bleach
Labels:
Artwork,
Collaboration,
collage,
natasha gabriella tontey
Dongeng Untuk Si Mata Susu #MATAPEREMPUAN2011
Menatap keangkuhan kehidupan kota besar, tempat kesenjangan sosial muncul secara meluas. Masyarakat menengah ke atas dianggap memiliki kehidupan flamboyan, dan terbentuk sebagai citra peradaban modern yang menjadi impian bagi masyarakat kelas lainnya. Kesibukan muncul dalam kehidupan masyarakatnya, kompetisi yang tak mengenal ampun bagi yang lemah. Tuntutan hidup yang menjadi budak dari nafsu hedonisme yang mendorong segelintir masyarakat kota besar menjadi makhluk sosial namun individualis dalam waktu yang bersamaan.
Semakin modern pola hidup suatu masyarakat, cenderung semakin berkurang pula kontak secara fisik dan kehangatan sesama manusia. Gaya hidup super sibuk yang penuh tekanan seakan-akan menyihir warga kota-kota besar. Tak heran, Jakarta pun menjadi sarang bagi manusia-manusia yang kesepian. Jika saja masyarakat perkotaan memiliki pola hidup yang lebih sederhana, mungkin kasus-kasus kesepian akan jarang terjadi. Masing-masing individu mempunyai waktu untuk memperhatikan kebutuhan satu sama lainnya yang dapat memperkuat tali emosional diantara mereka.
Dalam kenyataan, hidup di kota besar seperti Jakarta, inversi dan substitusi pola kehidupan akan terus menerus terjadi sebagaimana waktu sebagai citra hakiki masyarakat kota. Sama halnya seperti perubahan gaya hidup berkeluarga sebagai manifestasi dari perkembangan zaman.
*
Gaya hidup di kota besar masa kini adalah di mana orangtua bekerja dan menitipkan anak-anak mereka di bawah asuhan orang lain. Semua orang, baik sang Ayah maupun sang Ibu, sibuk dengan pekerjaannya masing-masing sebagai perwujudan dari harapan untuk kehidupan yang dianggap lebih baik.
Kesibukan orang tua dengan kariernya secara tidak langsung membangun tembok tak kasat-mata antara mereka dengan anak-anaknya. Kontak fisik pun berkurang karena anak-anak tidak lagi diasuh fisik secara langsung oleh orang tuanya. Sudah ada sosok lain yang menggantikan peran dalam mengurus. Pemberian mainan-mainan menjadi imbal balik orangtua atas ketidakhadiran mereka dalam proses tumbuh-kembang anak.
Fungsi gadget mutakhir digunakan untuk menjalin komunikasi, guna mendekatkan yang jauh, namun kenyataannya lebih sering menjauhkan yang dekat. Ketika pulang ke rumah, kesibukan orangtua yang tak terkekang oleh waktu, membuat mereka kerap kali terus berinteraksi dengan gadget-nya ketimbang dengan anak-anak mereka.
**
“Who are you? ” said the Caterpillar. This was not an encouraging opening for a conversation. Alice replied, rather shyly, “I—I hardly know, sir, just at present—at least I know who I was when I got up this morning, but I think I must have been changed several times since then.”
“What do you mean by that?” said the Caterpillar sternly. “Explain yourself!”
“I can’t explain myself, I’m afraid, sir,” said Alice, “because I’m not myself, you see.”
“I don’t see,” said the Caterpillar.
“I’m afraid I can’t put it more clearly,” Alice replied very politely, “for I can’t understand it myself to begin with; and being so many different sizes in a day is very confusing.”
“It isn’t,” said the Caterpillar.
“Well, perhaps you haven’t found it so yet,” said Alice; “but when you have to turn into a chrysalis—you will some day, you know—and then after that into a butterfly, I should think you’ll feel it a little queer, won’t you?”
“Not a bit,” said the Caterpillar.
“Well, perhaps your feelings may be different,” said Alice; “all I know is, it would feel very queer to me.”
“You!” said the Caterpillar contemptuously. “Who are you?”
Petikan di atas diambil dari novel Alice’s Adventures in Wonderland karangan Lewis Carroll. Alice dilemparkan ke dalam imajinasi dan dipaksa untuk menciptakan suatu identitas baru dalam rangka mengatasi situasi barunya. Alice yang kehilangan sosok panutan dalam petualangannya, hanya bisa bertempur dengan dirinya sendiri untuk mencari identitas. Seperti halnya Alice, anak-anak yang tidak mendapat panutan dari orang-orang tuanya, dalam hal ini adalah orangtuanya sendiri, dalam mencari kasih sayang akan berperang dalam dirinya. Teman khayalan adalah salah satu interpretasi dari pencarian kasih sayang.
Kebutuhan paling mendasar dalam hidup manusia selain fisiologis dan keamanan adalah kasih sayang.[1] Ketika dihadapkan dengan situasi jarang bertemu dengan orang tua, maka muncul kecenderungan anak untuk memiliki kepercayaan diri yang rendah. Karenanya, sentuhan menjadi penting dalam hubungan dengan yang tercinta.[2] Sama halnya seperti dongeng sebelum tidur yang menghangatkan jiwa apabila dibandingkan dengan tumpukan mainan yang dingin.
***
“I paint what cannot be photographed, that which comes from dreams, or from unconscious drive. I photograph the things that I do not wish to paint, the things which already have an existence” (Man Ray, Fotografer, 1981).
Fotografi di sini tidak sekadar berfungsi sebagai jendela realitas, Melainkan, sebagai wahana yang menjadi opini visual pribadi terhadap suatu keadaan. Dalam hal ini keadaan itu adalah realitas kota. Seperti halnya yang dilakukan oleh Frida Kahlo, seorang pelukis wanita dari Meksiko, dalam lukisan-lukisannya. Ia mengalihkan catatan-catatan hariannya menjadi lukisan-lukisan yang penuh dengan simbol-simbol. Sebagaimana dengan Frida Kahlo, foto-foto yang ada disini juga menggunakan pendekatan subjektif. Lebih jelas lagi, medium fotografi dalam karya ini digunakan sebagai cermin pribadi. Seperti mendengarkan lagu karangan Joanna Newsom[3], foto-foto disini tersusun seperti lirik-liriknya yang mengalun seperti dongeng tetapi memiliki dendam dan amarah.
Ibarat anak ayam yang tak bisa kehilangan induknya, anak-anak divisualisasikan sebagai sosok lemah yang terombang-ambing tanpa bimbingan nyata dari orang tua. Plastik di sini digunakan sebagai metafora urban yang diwakilkan oleh sosok boneka-boneka Barbie, sebagai citra dari kesempurnaan hidup yang dihadirkan karena mewakili perkara kehidupan di kota besar. Kesempurnaan yang teralienasi oleh kehampaan, tanpa kasih sayang dan afeksi.
Suatu kehampaan yang terselubung, terlihat dari foto pertama yang berjudul ‘Sprout and the Bean’ seolah tampak sebagai kehidupan lazim. Foto pertama tidak menyadarkan kita untuk mendengar jeritan-jeritan yang tak terdengar, sebelum lebih lanjut mendekatkan mata kita untuk melihat foto-foto yang tercetak di dalam View-Master[4]. Diperlukan kedekatan untuk menerobos hal-hal yang sublim.
Merangkai apa yang telah diseksamai, atas fenomena yang tidak lagi menjadi anomali di kehidupan kota besar, karya ini hadir untuk menyimak lebih dalam kehidupan anak-anak dan kaitannya dengan pola pengasuhan anak di kota besar. Ia bukan sekadar gambar tercetak, tetapi berusaha memperlihatkan suatu ironi. Keindahan visual tidak selalu berkaitan dengan kebahagiaan.
1 Abraham H. Maslow, Toward a Psychology of Being, second edition (New York: D. Van Nostrad, 1968), hlm. 25.
2 Oscar Motuloh, Yang Tercinta (Jakarta: Yayasan dan Pengembangan Budaya Visual Oktagon, 2005), hlm. 96.
3 Joanna Newsom ( 18 Januari 1982) seorang penyanyi dan pemain harpa asal Amerika Serikat.
4 View-Master yang seringkali dianggap mainan anak-anak, itu awalnya dipasarkan sebagai atraksi pada turis-turis.
other review:
http://satulingkar.com/detail/read/8/171/dongeng-boneka-untuk-jakarta
Labels:
Exhibition,
Jakarta Biennale 2011,
Mata Perempuan,
photography,
Works,
Writings
Location:
Galeri Foto Jurnalistik Antara
Thursday, 10 November 2011
MATA PEREMPUAN 2011
Pameran Fotografi Hasil Bengkel Kerja Penulisan dan Kuratorial Foto
"Mata Perempuan"
Dian Rosita
Irma Chantily
Maria Lasakajaya Sari
Mira Amira
Natasha Gabriella Tontey
Novianti Sisilia
Pembukaan :
Selasa, 15 November 2011 | 19.30 WIB
Galeri Foto Jurnalistik Gfja Antara
Jl. Antara No. 59, Jakarta Pusat
dibuka oleh : Firman Ichsan (Ketua Dewan Kesenian Jakarta)
FREE OF CHARGE
Monday, 31 October 2011
Luna's Not Tired
My newest collaboration with Rain Chudori for Whiteboard Journal's Hallowe'en Edition 2011
Luna's Not Tired by Rain Chudori Illustrated by Natasha Gabriella Tontey ♥♥♥ Enjoy ♥♥♥ |
Friday, 14 October 2011
Sunday, 7 August 2011
Apple Cart Festival 2011
The Apple Cart Festival aims to create a kaleidoscopic, colourful playground for adults and childrens alike. The festival took a place on a leafy, tree-lined part of Victoria Park, whereas 'twas a new boutique day out boasting everything from Mercury winning musicians, awards garnering comedians, conjuring Magic Circle members, interactive art happenings, family friendly village fete fun plus gourmet food to feast on and real english ale to sup.
'twas jaw-droppingly fascinating event I ever seen for I am a big fan of the House Fairy Tale (uniquely child-centred, organisation for all ages) and for this time House of Fairytales' artists Deborah Curtis and Gavin Turk brought their interactive candlelit Matinee exclusively to this festival and Art Car Boot Fair had driven over from their roaming vintage store for those who fancy buying a new (old) trock, Venn Street Market have everything from hog roast to Vietnamese bahn-mi.
Ah yes.. Badly Drawn Boy made my day!
Me and Mum
Badly Drawn Boy
The House of Fairytales' Booth
Patrick Wolf
Art Cart Booth Fair
The Venn Street Market
The Dreamers' Truck
The Spanking Post
Labels:
Documentary,
England 2011,
Festival,
photography,
Travel,
Voyage
‘The Stuff of Nightmares’ at V&A Museum of Childhood
Storytelling was an important form of popular culture for both adults and children before books became so widespread. The Brothers Grimm collected folk and fairy tales in order to preserve in oral tradition. They first published their collection of Germanic and French stories as the Grimms' Fairy Tales in 1812. The original ales were dark and sinister, depicting worlds populated by witches, trolls, goblins, and wolves, and were quite explicitly violent. Subsequent versions became somewhat sanitised for a child audience and many of the stories underpin the narrative of contemporary children's literature and film. But when re-told to children fairytales' often assume an air of innocence. Good always triumphs over evil, heroes are selfless and love is everlasting. Some fairy tales however, explore the darker side of a child’s imaginary landscape.
Some critics view the stories as gruesome, politically incorrect tales that we should protect our children from. There are very few decent adult role models and often the 'good' characters inflict some vicious form of retribution on their oppressors. Other argue that the imaginative world opened up by fairy tales allows children to escape the tedium of everyday reality and indulge in fantasies of defeating giants ogres, and monsters.
Bruno Bettleheim, the child psychologist, saw a theraupetic value in their dark subject matter. He believed fairy stories equipped the child with the tools to navigate an adult dominated world and develop survival strategies for dealing with the emotional turmoil of life. Perhaps children benefit from exposure to fear? By confronting the 'too eerie' detail of these ancient tales, they might learn some important life lessons.
The Museum’s Front Room Gallery is transformed into a sinister forest where anything might happen, the dark setting for a re-telling of the fairytale's, a tale of abduction, fear, evil old women, revenge and ultimately, friendship. The installation were made by local school children working with artists, sits alongside work by Katherine Tulloh, Ruth Weinberg, Daniel Bell, and Sharon Brindle, which take a closer look at the playthings of innocents. The exhibition held from 26 July 2011 until 26 February 2012.
The Dolls of the Criminals
Labels:
Documentary,
Dolls,
natasha gabriella tontey,
Travel,
Voyage
Subscribe to:
Posts (Atom)